Asal-usul suatu tempat atau sebuah desa biasanya bercampur antara sejarah, legenda, mitos dan cerita yang dituturkan secara lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis. Hal itu karena tradisi yang berlaku adalah tradisi tutur sehingga suatu kejadian pada masa tersebut jarang ditulis dalam dokumen sejarah. Penyebabnya karena penulis atau pujangga hanya dimiliki oleh kerajaan atau keraton. Demikian halnya dengan Sejarah asal-usul Desa Bligo.
Berdasar cerita turun-temurun Sejarah Desa Bligo berawal pada saat Untung Surapati melawan Pemerintahan Sunan Amangkurat II Kartasura yang didukung VOC antara tahun 1686 sampai 1706.
Bahwa pada tahun 1683 pasukan VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa dari Kasultanan Banten dan mengasingkannya ke Tanjungpura. Setahun kemudian Putra Mahkota Kasultanan Banten yaitu Pangeran Purbaya turut diasingkan. Sedangkan Istri Putra Mahkota yaitu Raden Ayu Gusik Kusuma dipulangkan ke orang tuanya yaitu Patih Nerangkusuma dari Mataram Kartasura.
Kepulangan Raden Ayu Gusik Kusuma dikawal pasukan VOC yang dipimpin oleh Untung Surapati. Pada akhirnya dua orang tersebut menikah. Dari perkawinannya dilahirkan 3 (tiga) orang anak yaitu Pangeran Pengantin, Pangeran Surapati dan Pangeran Suradilaga. Putra kedua mereka lahir dalam keadaan bungkus (orang Jawa menyebut bayi bungkus) karena terbungkus oleh placenta.
Menurut para sesepuh keraton bayi bungkus hanya bisa dibuka dengan sekam padi yang berbau harum. Padi tersebut hanya tumbuh di wilayah barat (Jawa: lad-ladan kulon) dari arah Kartasura pada suatu tempat yang letaknya lebih tinggi (baliga) dan berada di dekat Sungai Progo.
Untuk mencari sekam padi harum guna membuka bungkus bayi tersebut Patih Nerangkusuma mengutus Pangeran Wira Menggala atau Wirayuda. Pangeran Wirayuda adalah Putra Pangeran Kajoran seorang Panglima pendukung utama Raden Trunajaya ketika melawan Sunan Amangkurat I Raja Mataram yang merupakan Putra Sultan Agung.
Atas petunjuk dari langit bayi bungkus Putra Untung Surapati dibawa ke Wilayah Barat (Laladan Kulon) yaitu ke suatu tempat yang lebih tinggi (Sansekerta: Baliga yang artinya kuat, kokoh, tempat yang tinggi). Setelah berhari-hari maka menjelang senja sampailah Sang Pangeran pada suatu tempat di sebelah utara bertemunya Sungai Krasak dengan Sungai Progo.
Berhubung hari telah petang maka Sang Pangeran bermalam. Tempat beliau bermalam diberi nama Kajoran untuk mengenang ayahnya. Saat ini Kajoran masuk wilayah Kabupaten Sleman. Di sebelah barat Kajoran (seberang sungai Krasak) terdapat sebuah perkampungan. Sang Pangeran ragu-ragu apakah tempat tersebut adalah tempat yang dicarinya atau bukan. Karena masih belum jelas akhirnya kampung tersebut diberi nama Blaburan yang berasal dari kata blabur (Jawa: samar-samar) yang saat ini merupakan wilayah paling selatan Kabupaten Magelang.
Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan untuk menemukan rumpun Padi Gogo yang berbau harum seperti kembang. Setelah beberapa saat berjalan ke arah utara Sang Pangeran sampai di suatu tempat yaitu di sebelah selatan pertemuan antara Sungai Bungu/Bathang dan Sungai Progo. Di tempat tersebut banyak tumbuh padi gogo. Akhirnya tempat tersebut dinamai dengan Gagan.
Dari banyaknya rumpun padi gogo terdapat rumpun yang mengeluarkan bau harum seperti bunga/kembang. Sang Pangeran meyakini bahwa padi gogo yang harum itulah yang bisa membuka bungkus bayi. Akhirnya tempat di mana ditemukan padi gogo yang berbau harum seperti bunga tersebut dinamai dengan Kembang Arum yang saat ini masuk Dusun Gagan.
Dengan ditemukan Padi Gogo harum dan letaknya tidak jauh dari sungai Progo maka diyakini bahwa tempat yang dituju sudah sangat dekat yaitu Laladan Kulon (Wilayah Barat). Selanjutnya Pangeran Wirayuda berjalan ke selatan melewati hutan jati kecil. Disitu beliau beristirahat merenung dan mengingat kerajaan serta memikirkan bagaimana bayi ini nanti setelah keluar dari bungkus. Kemudian diputuskan untuk membuat peti kayu jati sebagai tempat untuk bayi nantinya. Tempat beliau beristirahat tersebut dikemudian hari diberi nama Krajan.
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke selatan dan menjumpai sebuah pohon bibis besar yang di bawahnya terdapat telaga kecil atau sendang. Di sendang itulah bungkus bayi dibuka dengan padi gogo. Sendang itu akhirnya dinamai Sendang Widodari/Sendang Bibis. Selanjutnya ari-ari (plasenta) bayi dicuci di tepian Sungai Progo. Karena ari-ari tersebut berbau anyir (Jawa: banger) maka tempat tersebut diberi nama dengan Banger yang letaknya di sebelah selatan Dusun Kolodanan.
Selanjutnya bayi yang lahir diberi nama Surapati yang setelah dewasa nanti bersama dengan saudaranya yaitu Pangeran Pengantin dan Pangeran Suradilaga melanjutkan perjuangan ayahnya melawan VOC Belanda.
Dari kisah perjalanan Pangeran Wira Menggala atau Wirayuda dari Mataram Kartasura menuju Laladan Kulon (Wilayah Barat) untuk mencari tempat yang bernama Baliga itulah yang diyakini sebagai cikal bakal Desa Bligo. Orang kemudian menyebut Laladan Kulon dengan Kolodanan dan Baliga dengan Bligo yang pada waktu itu merupakan bagian dari Dusun Kolodanan. Akhirnya nama Baliga diambil untuk nama desa dengan sebutan Desa Bligo